Editorial

Pandangan Politik Kerajaan Tidak Didasarkan Analisis Politik Biasa


politik

BeritaMujizat.com – Editorial – Hubungan antara agama dan politik adalah sebuah topik yang selalu diperdebatkan mulai ruang akademis sampai kepada komunitas gereja awam. Minimal, setiap pemilihan pemimpin maka maraklah pembicaraan politik di semua sudut masyarakat, termasuk gereja-gereja lokal.

Pandangan politik hamba Tuhan menjadi menarik untuk dikaji. Karena sebagai seorang pemimpin rohani maka hamba Tuhan selalu diikuti, bahkan cenderung secara fanatik dipercaya selalu benar. Sehingga, mencari suara pemilih dari ceruk agama sayangnya tetap menjadi trend dalam setiap pemilihan.

Pendeta-pendeta di daerah adalah sasaran road show para politisi yang mencoba meraup suara. Sebaga contoh, Hashim Djojohadikusuma (kakak Prabowo) dari Gerindra, dan Hary Tanoesudibyo dari Perindro adalah dua politisi yang rajin menyisir kanton-kantong kristen.

Menariknya politisi Kristen yang lagi mocer dan menjadi pembicaraan secara nasional maupun internasional, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), justru terlihat mencoba menjaga jarak dengan gereja secara politis. Sebuah sikap yang patut dihargai.

Ditengah gencarnya lobby-lobby para politisi Kristen, apakah para hamba Tuhan dapat tetap menyuarakan kebenaran Ilahi, dan tidak terjebak dalam kepentingan praktis politis?

Bisa dibayangkan apabila calon pemimpin adalah warga gereja yang dilayani, maka dengan gampang pendeta memberikan doa-doa berkat supaya menang pemilihan tanpa bertanya Tuhan lagi apakah memang dia harus maju atau tidak.

***

Tugas pendeta, hamba Tuhan, pemimpin rohani adalah menyuarakan kebenaran. Dan kebenaran adalah milik Tuhan, bukan partai, politikus, ataupun mayoritas.  Semakin tepat mengerti isi hatiNya, maka seorang hamba Tuhan bisa disebut memiliki kredibilitas.

Dalam konteks politik, yang sering tidak dipahami dan disalah mengerti adalah endorsement kepada salah satu pihak politik seharusnya dilakukan atas dasar kehendak Tuhan, bukan kehendak manusia.

Ketika Samuel mengurapi Daud, dan meninggalkan Saul, bukan berarti Samuel berubah haluan politik. Dari awal kubu politik Samuel bukan Saul, atau Daud, tapi politik kerajaan. Samuel berpihak kepada Tuhan, bukan kepada salah satu kubu politik. Meskipun pada akhirnya secara jasmani atau riil, maka Samuel “berpihak” kepada Daud, tetapi dia lakukan itu karena Tuhan yang menyuruh.

Kasus yang sama ketika seakan-akan Tuhan berpihak kepada Nebukadnezar dan membiarkan Israel kalah, maka nabi seperti Yeremia yang menubuatkan kekalahan itu bukan berarti berpihak kepada Nebukadnezar. Yeremia berpihak kepada kebenaran, yaitu Yahweh, Raja Israel yang sebenarnya.

Mordekhai, Esther, Ahesyweros, dan Haman adalah polemik politik yang bisa menjadi contoh bagaimana seorang Mordekhai menunjukkan bagaimana menjadi politikus kerajaan yang lihai, sekaligus tetap teguh dalam kebenaran.

Mordekhai mampu men-setting semua yang Esther harus kerjakan dan pada akhirnya Esther mampu menyelamatkan seluruh bangsa Yahudi. Sebuah sejarah yang tidak terlupakan sampai dijadikan hari besar Yahudi, hari raya Purim.

Hal yang sama ketika Yusuf membantu Firaun (raja paling kafir di masa itu) di Mesir adalah sebuah anomali. Bagaimana mungkin seorang yang memegang janji Tuhan harus mengabdi kepada seorang raja kafir yang mengaku dirinya adalah tuhan.

Tapi itulah kehendak Tuhan untuk musim itu, dan Yusuf taat, dan akhirnya Yakub pun mengerti.  The rest is history. Dari 70 orang, Israel berkembang menjadi bangsa yang besar. Tuhan tidak pernah gagal, tugas kita cuma taat menghidupi kebenaran.

***

Mengapa saya endorse Donald Trump dan terkesan membenci Barack Obama? Atau mendukung Jokowi-Ahok bahkan Anies dalam perpolitikan Indonesia? Tidak ada keuntungan politik apapun yang saya dapatkan. Keuntungan material pun saya tidak mendapatkan, karena memang bukan itu yang dicari.

Saya hanya mencoba untuk discern dan mengerti rencanaNya untuk tubuh Kristus dan kemudian memetakan hal itu di Amerika dan di Indonesia, dan akhirnya saya yakin bahwa Tuhan inginkan Donald Trump memimpin Amerika untuk musim ini. Sama seperti ketika saya memilih Jokowi untuk 2014, dan sekarang pun saya yakin keinginanNya adalah Ahok untuk tetap memimpin Jakarta.

Bukan karena saya suka Donal Trump, Jokowi, atau Ahok. Anies orang hebat, AHY seharusnya bisa jadi orang hebat juga, tapi yang tepat untuk musim ini untuk Jakarta adalah Ahok. Dan kebenaran profetis (wahyu) selalu bisa dijustifikasi dengan pembenaran politis atau riil di waktu dan sudut yang tepat.

Jadi pandangan politik saya bukan berdasaran analisis politik biasa. Saya bukan orang FISIP atau politisi atau negarawan. Saya cuma hamba, hamba Tuhan. Sebagai hamba Tuhan saya fokus mendengar apa yang Dia mau dan taat 100%.

Dan saya yakin kehendakNya itu yang terbaik untuk Jakarta, Indonesia, Amerika dan seluruh bangsa-bangsa. Karena Dia Tuhan yang memerintah dan memiliki kuasa atas bumi dan surga (Why 12:10).  Seluruh pemerintahan dibumi ini ada dibawah kontrol kehendakNya.

Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.
Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.  (Rom 13:1-2)

In nutshell, tugas pemimpin gereja, hamba Tuhan, pendeta adalah menyatakan ketetapanNya kepada dunia dalam bahasa yang dimengerti oleh dunia bukan menjadi analis politik.  Seperti Yusuf menafsirkan mimpi Firaun, itulah analogi yang paling mendekati apa yang sedang saya coba lakukan, menterjemahkan mimpi Tuhan untuk tubuh Kristus di Indonesia, dan bangsa-bangsa.

Penulis  : Hanny Setiawan

 

Comments

Related Articles

Back to top button