Editorial

Agama di Ranah Publik : Menelaah Kasus Pulau Seribu Ahok


pulau-seribu3

– Editorial – Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, petahana gubernur DKI sekaligus calon gubernur untuk Pilkada DKI 2017, lagi-lagi menjadi trending topic di dunia maya. Pernyataannya di pulau Seribu yang mengutip salah satu ayat dari kitab suci agama mayoritas di Indonesia telah dipelintir sedemikian rupa sehingga memojokkan Ahok telah melakukan penistaan agama. Sehingga timbul berbagai macam reaksi politis yang menjadi viral.

Menanggapi kegaduhan politik itu, Ahok mengambil langkah untuk meminta maaf, dan berjanji tidak akan mengutip ayat suci agama lain. Entah ini dimaksudkan juga untuk ayat Alkitab, agama yang dianutnya atau hanya berlaku untuk kitab suci agama-agama selain Kristen.

Artinya apakah kita hanya boleh mengutip kitab suci masing-masing diruang publik, dan tidak boleh menyebut kitab suci orang lain? Apakah seperti itu interpretasi maaf Ahok?

Yang jelas, dinamika antara agama dan politik terbuka lebar dikasus pulau Seribu ini. Menyebutkan kasus Ahok sebagai kasus pulau Seribu lebih kondusif daripada menyebutkan nama kitab, buku, atau ayat kitab suci yang dimaksud, karena tidak ada maksud untuk hanya mengkotakkan ke satu agama atau kitab suci.

***

Agama di Indonesia ada Islam, Katholik, Kristen, Budha, Hindu, dan kepercayaan kepada Tuhan YME yang artinya agama di Indonesia bersifat majemuk. Dengan kemajemukan agama yang ada, ditambah kemajemukan etnis dan budaya, bisa dibayangkan betapa kompleksnya isu SARA di Indonesia.

Politik sendiri selalu merujuk kepada kekuasaan, dan kekuasaan muncul dari mayoritas. Tapi apakah penggolongan mayoritas hanya dari agama? Ternyata tidak semudah itu. Mayoritas di satu kategori, belum tentu mayoritas di kategori yang lain.

Contoh kasus :  Populasi satu kelas  dari jenis kelamin adalah 70 pria, 3o wanita. Dari agama adalah 80 A, 10 B, 5 C, 5 lain-lain. Dari hobi : 45 lari, 25 badminton, 15 memancing, 15 lain-lain.  Dari kasus sederhana ini yang disebut mayoritas adalah lak-laki, agama A, atau lari tergantung dari kategorinya.

Ketika terjadi pemilihan ketua kelas, apakah bisa dipastikan laki-laki yang pasti menang karena mayoritas? Belum tentu, bagaimana kalau laki-laki ini ternyata termasuk minoritas karena beragama B, dan hobinya pun tidak jelas.

Apa yang bisa dipelajari? Mayoritas dalam demokrasi adalah sebuah campuran dari berbagai macam kategori, kandidat yang bisa meraih campuran terbanyak dialah yang akan memenangkan kompetisi dalam pemilihan di sistem demokrasi.

Setiap kategori disebut “kantong masyarakat”. Dalam setiap kantong masyarakat ini, kandidat akan mencoba mencari simpati untuk memenangkan hati, dalam sebuah kampanye.

***

Kembali ke kasus pulau Seribu, menarik untuk mendapatkan kajian dan diadakan dialog antar agama adalah bagaimana code of conduct di ranah publik apabila terjadi konflik nilai antara nilai universal dan nilai agama tertentu.

Alm. Gus Dur mengatakan bahwa NKRI seperti rumah besar yang terdiri dari banyak kamar. Di tengahnya ada ruang bersama atau ruang publik. Di kamar masing-masing, semua kelompok dan golongan relatif boleh melakukan “apapun”, tetapi tetap dalam koridor menuruti aturan yang punya rumah.

Sementara itu, di ruang publik, masing-masing kelompok dan golongan memiliki aturan publik yang semua harus mengikuti aturan itu. Nilai-nilai umum atau universal yang berlaku di ruang publik ini.

Yang kemudian menjadi masalah, apakah nilai-nilai kita dikamar kecil akan selalu selaras dengan nilai-nilai di kamar besar. Apakah kemudian semua nilai-nilai di kamar kecil harus dicampur menjadi satu menjadi nilai-nilai kamar besar? Secara filosofis pun sudah sangat kompleks.

Disinilah, Indonesia, pada khususnya bisa disebut sebagai negara yang luar biasa diberkati. Pancasila dengan lima nilai-nilai dasar yang universal mampu menjadi common values atau nilai-nilai umum yang menyatukan semua agama di Indonesia.

Semua nilai-nilai keagamaan harus tunduk dalam koridor Pancasila ini. Ketika terjadi perbedaan nilai, maka yang diperbolehkan dipraktekkan di ruang publik, hanyalah yang Pancasila perbolehkan. Masing-masing golongan (baca : kamar kecil) harus memastikan bahwa tidak ada tendensi memaksakan nilai-nilai golongan keranah publik.  Apabila ini dilanggar, kemungkinan konflik akan sangat besar.

Dalam kasus Ahok, apakah Pancasila melarang agama, suku, atau sosial tertentu? Ternyata tidak. Karena Pancasila menjadi dasar hukum yang melindungi hak semua WNI untuk menjadi pemimpin apabila dikehendaki “mayoritas”. Inilah esensi yang golongan nasionalis Pancasilais selalu dukung.

Tapi esensi ini bisa dikalahkan kepentingan untuk meraih hati golongan tertentu demi mendapatkan suara yang lebih banyak. Jadi, kasus pulau Seribu lebih condong sebagai kasus politis daripada kasus agama.

Indonesia sudah memiliki Pancasila, bahkan sudah sampai ke UUD 1945 pasal 29, dan sudah 70 tahun merdeka dan bertahan dari isu-isu SARA ideologis.  Yang ada sekarang hanyalah percikan-percikan SARA politis, meskipun tetap harus diwaspadai, tetapi tidak perlu terlalu dibesarkan.

Indonesia lebih besar daripada Ahok, Anies, atau Agus beserta relawan-relawan dan haters masing-masing.  Indonesia adalah karunia dan rahmat Tuhan yang maha esa, dalam kebhinekaannya, Indonesia tetap tunggal ika.  Salam Bhinneka!

Berita Mujizat Editorial

Comments

Related Articles

Back to top button